Cerpen Romantis : Pengiring Biola
Pengiring Biola
Seketika kaki lekas menarik langkah kea rah mesin minuman
di pinggiran taman sekolah. Agh, soda lemon mengucur deras membasahi
tenggorokan, menghilangkan dahaga yang tertahan. Saat itu, kutangkap alunan
nada-nada biola seakan membawa hati dan tubuh mengikuti aliran kedamaian dan
mengajakku menemuinya.
Dua
anak dan sesosok gadis belia di tengahnya. Memainkan iringan permai dengan
biola mungilnya. Mata kecilnya yang cantik dengan rambut pirang yang menjuntai
hingga ke pinggang membuat diriku terhipnotis akan dirinya. Seolah masa terasa
berhenti sejenak.
Hilir angin bergerak dengan lantangnya sore itu.
Menghempas tubuh pemain biola. Roknya tersingkap, dibuatnya malu karena tatapan
ketaksengajaan ini. Tamaran keras melayang ke pipiku, dibuatnya bekas merah jua.
“A..Aku tak sengaja,
maaf,”ucapku dengan penuh malu.
Tak membalas permintaan maafku, ia pergi tanpa kata
apapun. Begitulah kesan pertamaku bertemu dengannya.
*****
Angket kejuaraan piano regional terbujur di atas meja
kelasku. Menghadangku belajar. Hanya satu hal yang meyemakkan kepala, seorang
pengiring biola. Pengiring untuk mempersani permainan pianoku esok.
Tanda waktu tertunjuk angka tujuh, guru mengumumkan akan
datangnya seorang murid baru. Entah kenapa temanku terkagum-kagum pada parasnya
seolah disihir olehnya. Tak hirau ku padanya. Namun, saat kutampakkan wajah
hinaku padanya, ialah gadis si biola mungil!
“ Hai teman, namaku
Kaori. Salam kenal,” ucap gadis itu.
“Kaori, duduklah di
samping Arima.”
“Eh..?”Wajahnya mulai
memerah dan tertegun malu.
Entah ini adalah sebuah takdir, atau hanya kebetulan.
Guru menyuruhnya duduk di sampingku.
Degub jantungku mengheningkan suasana kelas. Getar nadi semakin kencang
rasanya. Semakin kupandangi wajahnya, semakin kuat rasa ini. Apa ini yang
namanya kasmaran? Agket menatapku dengan wajah ejekannya, seolah mengajak
tanganku untuk menuliskan nama, Kaori.
“Angket? Kaulah yang
terpilih, Kaori!” Tanpa kata berbau pengenalan, aku langsung bercakap tak
karuan.
Ia terperangah menatapku dengan keheranan. Tak tau harus berucap
apa.
“Angket untuk apa?”
“Kau akan jadi
pengiring biolaku di kejuaraan piano regional, tolong ya?”, pintaku dengan penuh
harap.
“Eh…baiklah”
Sekali mendayung, dua tiga pulau kulampaui. Kudapat
seorang pengiring biola dan dapat bermain musik bersama seorang yang kusuka,
rupanya.
“Baiklah, kalau gitu
nanti pulang ke rumahku ya, kita latihan bareng,” ajakku.
“Baik,” ucapnya dengan
senyumnya yang terlukis di bibirnya.
******
Hari perlombaan telah tertulis di lembaran kertas. Melodi
yang dimainkan para peserta kejuaraan piano sangat harmonis. Emosinya sangat
kuat terasa menggetarkan nurani. Namun, Kaori tak kunjung tiba. Aku termenung
di sisi tembok gedung sembari menanti kedatangannya. Bingung, ketakutan, sedih
merasuk ke tubuh, tak tau apa yang kurasakan. Partitur lagu yang telah bertaut dengan jiwaku, entah kenapa sirna begitu saja, mungkin diterpa angin.
Hanya seorang yang mengacuhkan dirikukala itu, Tsubaki
namanya. Ia teman sejatiku hingga saat ini. Tangan lembutnya memberikanku
sedikit percikan api semangat untuk berjuang.
“Kamu pasti bisa,
Arima”
Segera kuangkat diri dan menyiapkan diri di tengah
panggung. Juri Nampak bingung akan hilangnya pengiring biola. Persawan pun jua,
mereka menampakkan raut muka kebingungan. Suara-suara cibrannya mengaung-ngaung
di ruangan megah ini.
“Penonton diharap
tenang,” Pinta juri dengan nada tinggi.
Cukup 10 detik ‘tuk meredamkan suasana. Symphony No. 40 – A. Mozart,
bersamanyalah aku beradu tangan. Senyuman dari mulut mereka terbang ke arahku.
Mungkin permainanku sangat harmonis. Di tengah raut sukacita, aku meratap getir
dan termenung, terngiang-ngiang akan wajah jelita Kaori.
Tak kusangka, symbol dekressendo mengingatkanku ‘tuk
mengakhiri semua ini. Aplaus pujian para spectator melayang. Cukup, aku tak
perlu mendapatkannya lagi. Larilah Arima, jumpai Kaori. Pinta piano hitam itu
berceloteh dengan tutsnya yang putih dan bersih.
Pergilah diriku mencari dimana keberadaan tubuh Kaori.
Hanya 5 menit berlari, kusampai di rumahnya. Bangunan yang menjadi teman
tidurnya, kosong nan sunyi.
“Kaori, Kaori, dimana
kamu?” Pertanyaan ini menggema di setiap sudut bangunan itu. Kucoba
memasukinya. Hanya sebuah gelas pecah di atas tikar yang dapat menjawab semua
kekacauan ini.
“Aku tahu dimana ia
sekarang.”
Matahari kian menjauhi hari ini. Ternyata benar, kutatap
seenggok banyangan seorang di balik ayunan taman sekolah. Hal itu menuntunku
bergegas bersua dengannya. Air matanya berlinang dan membasahi pipi merahnya.
Aku pun segera duduk di sampingnya dan bertanya akan masalah yang menimpa
dirinya.
“Tak perlu kau campuri
urusanku, kembalilah kamu ke rumahmu, aku akan mengatasi ini semua sendiri!”
Ucapnya dengan suara tinggi.
Tak tau apa yang harus kulakukan, segera kupeluk dirinya
dengan erat. Hanya ini yang dapat kulakukan. Dia terdiam dan tak bersuara.
Tangisannya sekarang mulai terbendung oleh hangatnya suasana.
“Coba berceritalah
Kaori, mari mengatasi hal ini bersama-sama,” Sembari melepas pelukan dan
mengusap air matanya.
“Maaf telah membuatmu
khawatir. Maaf telah membuatmu sedih akan tindakanku padamu. Maaf aku tak bisa
menjadi pengiring biolamu.”
“Aku juga minta maaf
tak dapat mengerti keadaanmu.”
Ia bercerita akan semua kejadian yang menimpanya.
Ternyata, ia mengalami kisah yang dapat membuat sangat terpukul. Ayah ibunya
mengalami sebuah keretakan hubungan. Sebuah keluarga yang sebelumnya bersatu
kini telah bererak. Kata cerai telah terlafal dari mulut tulang punggung
keluarga itu.
“Bersabarlah Kaori.
Kamu akan melewati ujian ini. Kelak kamu akan memanen buahnya,” Nasehatku.
“Iya benar. Maaf,
Arima. Aku sangat egois. Kukira aku dapat mengatasi ini semua sendiri.”
“Kamu jangan merasa
sendiri. Aku akan selalu bersamamu. Mari pulang hari mulai gelap,” ajakku.
Kami meninggalkan taman kesedihan ini. Kugapai tangannya
agar ia tak dapat bersusah hati lagi. Sungguh bahagia kurasa dapat mengusir
awan kelabu yang menyelimuti Kaori. Bekas air mata memang masih melekat di
pipinya. Namun, bekas itu tak menunjukkan pilunya. Sekarang, semua kesedihan
itu sudah hampir sirna, bak daun yang dimakan ulat.
Tamparan keras kala itu memang masih terasa di pipiku,
namun akan kuungkapkan semuanya.
“Kaori, aku ingin
berkata sesuatu.”
“Boleh.”
“Aku menyukaimu.”
Matahari telah sepenuhnya sirna. Hanya cahayanya yang
tersisa. Malam akan datang tak pada waktunya. Menyisakan kehangatan sore hari,
seperti hangatnya kisah kami.
Incoming search :
kumpulan cerpen cinta sedih
cerpen cinta romantis
cerpen cinta singkat
cerpen cinta dan persahabatan
cerpen cinta segitiga
cerpen cinta pertama
cerpen cinta sejati
cerpen cinta romantis banget
cerpen romantis sedih
cerpen romantis korea
contoh cerpen cinta
0 Response to "Cerpen Romantis : Pengiring Biola"
Post a Comment